Mengenal ”Kaidah Tafsir Al ‘Ibrah bi ‘Umuumil Lafzhy Laa bi Khushuushis Sabab”

Diantara kaidah yang penting dalam ilmu ushul tafsir adalah kaidah al ‘ibrah bi ‘umuumil lafzhy laa bi khushuushis sabab . Maksud dari kaidah ini adalah ‘ibroh (pelajaran) atau hukum dari suatu ayat Al-Quran diambil dari redaksi teksnya yang bersifat umum, bukan dari sebab turunnya yang bersifat khusus.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ,” Jika turun satu ayat dengan sebab yang bersifat khusus dan redaksi yang bersifat umum. Maka, hukum yang terkandung dari ayat tersebut mencakup kasus sebab turunnya ayat tersebut dan mencakup semua yang dapat tercakup, dalam redaksi yang bersifat umum. Karena Al-Quran turun sebagai hukum yang bersifat umum untuk seluruh umat. Oleh karena itu terdapat kaidah al ‘ibrah bi ‘umuumil lafzhy laa bi khushuushis sabab. [1]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan ,” Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat bermanfaat. Dengan memperhatikannya seorang hamba akan mendapatkan kebaikan dan ilmu yang banyak. Dengan meninggalkan dan tidak memperhatikan kaidah ini, seseorang akan terlewatkan dari ilmu yang banyak, dan terjatuh dalam kekeliruan dan kerancuan yang berbahaya.” [2]

Jika Sababun Nuzul Itu Bersifat Khusus, sedang Ayat itu Turun dengan Redaksi yang Umum, Manakah yang Menjadi Patokan?

Syaikh Manna’ Al-Qaththan  berkata,” Jika sababun nuzul itu bersifat khusus, sedang ayat itu turun dengan redaksi yang umum, para ahli ushul berselisih pendapat apakah yang dijadikan patokan lafazh yang sifatnya umum atau sebab yang sifatnya khusus?

  1. Jumhur Ulama’ mengatakan yang menjadi patokan hukum (‘ibroh) adalah redaksi yang umum bukan sebab yang khusus. Inilah pendapat yang lebih rajih dan lebih shahih.
  2. Ada segolongan ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi patokan adalah sebab yang khusus bukan lafazh yang umum. Karena lafazh yang umum itu menunjukkan sebab yang khusus. Maka untuk dapat diterapkan untuk kasus lain yang serupa dengan sababun nuzul, diperlukan dalil lain, seperti qiyas dan semacamnya. [3] Wallahu a’lam.

Salah Satu Contoh Penerapannya Dalam Al Quran

Ayat tentang li’an yaitu firmanNya,

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ أَزۡوَٰجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ فَشَهَٰدَةُ أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٦ وَٱلۡخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٧ وَيَدۡرَؤُاْ عَنۡهَا ٱلۡعَذَابَ أَن تَشۡهَدَ أَرۡبَعَ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٨

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.” (QS. An-Nuur : 6-8)

Di dalam shahih Bukhari (hadis no. 2671) ,  dari hadis ‘Ibnu ‘Abbas   , bahwasanya Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya berzina dengan Syuarik bin Samha’ di hadapan Nabi  . Maka Nabi  bersabda,” Harus ada bukti, jika tidak punggungmu akan didera.” Maka Hilal berkata,” Wahai Rasulullah , apabila salah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya, apakah dia harus mencari bukti?” Rasulullah menjawab ,” Harus ada bukti, jika tidak punggungmu akan didera.” Maka Hilal bersumpah ,” Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya saya adalah orang yang jujur dan Allah sungguh akan menurunkan apa yang menyelamatkanku dari dera (had). Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina).. sampai dengan .. jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”

Ayat ini turun karena sebab tuduhan Hilal bin Umayyah kepada, tetapi hukumnya mencakup kasus tersebut dan kasus lain yang serupa. Berdasarkan dalil yang diriwayatkan dari Bukhari dari hadis Sahl bin Sa’d  , bahwasanya ‘Uwaimir Al ‘Ajlaniy dating kepada Nabi , maka dia berkata,” Wahai Rasulullah , seseorang mendapati istrinya bersama (berzina dengan) laki-laki lain, Apakah dia boleh membunuh laki-laki tersebut atau bagaimana seharusnya? . Nabi bersabda,” Sungguh Allah telah menurunkan Al Quran kepadamu dan istrimu. Maka Rasulullah  memerintahkan mereka berdua untuk mula’anah (saling melaknat) sebagaimana yang Allah telah terangkan di dalam Kitab-Nya. Maka mereka pun saling melaknat. (HR. Bukhari no. 423 dan Muslim no. 1492)

Nabi  telah menetapkan hukum ayat ini umum/mencakup untuk kasus Hilal bin Umayyah dan yang semisal dengannya. [4]

Kesimpulannya, ayat ini tidaklah hanya berlaku untuk Hilal bin Umayyah yang menjadi sebab turunnya ayat diatas. Tetapi, berlaku bagi siapa saja yang mengalami kasus yang serupa dengan Hilal bin Umayyah, yaitu dalam masalah li’an.

Penutup

Berdasarkan kaidah ini , maka jika turun satu ayat dengan sebab yang bersifat khusus dan redaksi yang bersifat umum. Hukum yang terkandung dari ayat tersebut mencakup kasus sebab turunnya ayat tersebut dan mencakup semua yang dapat tercakup, dalam redaksi yang bersifat umum.

Syaikh Manna’ Al-Qaththan rahimahullah berkata, “Inilah pendapat yang rajih (lebih kuat) dan lebih shahih (mendekati kebenaran). Pendapat ini selaras dengan keumuman hukum-hukum syariat, dan hal ini merupakan metode yang dipakai oleh para Shahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka memberlakukan hukum ayat-ayat yang memiliki sebab-sebab tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Sebagaimana turunnya ayat dzihar dalam kasus Aus bin Shamit atau Salamah bin Sakhr (berdasarkan adanya perbedaan riwayat). Berdalil dengan keumuman ayat yang turun turun karena sebab-sebab khusus adalah hal yang ma’ruf dikalangan para ulama. [5]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan ,” Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat bermanfaat. Dengan memperhatikannya seorang hamba akan mendapatkan kebaikan dan ilmu yang banyak. Dan dengan meninggalkan dan tidak memperhatikan kaidah ini, seseorang akan terlewatkan dari ilmu yang banyak, dan terjatuh dalam kekeliruan dan kerancuan yang berbahaya.Ushul (dasar) ini telah disepakati oleh para peneliti dari kalangan ulama di bidang ushul dan selain mereka. Bila engkau memperhatikan kaidah tersebut, engkau akan mengetahi bahwa apa yang dikatakan oleh ahli tafsir hanyalah sebagai permisalan-permisalan yang memperjelas maksud dari lafazh-lafazhnya. Bukan berarti lafazh-lafazh tersebut hanya terbatas pada asbabun-nuzul tersebut….” [6]

Demikian . Alhamdulillahirabbil’alamin.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ألا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

==========================================================

[1] Ushulun fii Tafsir, hal. 16, Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin rahimahullah

[2] Syarh Al-Qowa’id Al Hisan, hal. 11, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin  rahimahullah

[3] Mabahits fii ‘Uluumil Quran, hal. 79-81, Syaikh Manna’ Al- Qaththan  rahimahullah

[4] Ushulun fii Tafsir, hal. 16-17 , Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin rahimahullah

[5] Mabahits fii ‘Uluumil Quran, hal. 79-81, Syaikh Manna’ Al- Qaththan  rahimahullah

[6] Syarh Al-Qowa’id Al Hisan, hal. 11, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin  rahimahullah

-Bagas Prasetya Fazri-

Tugas Akhir Ma’had Al-’Ilmi 2013-2014

Selesai diposting 19 November 2014

Mohon koreksinya jika ada kesalahan, semoga bermanfaat

Leave a comment